Satgas Madago Raya Masih Buru Mujahidin Indonesia Timur di Sulawesi Tengah
pada tanggal
Wednesday, April 6, 2022
Edit
PALU, LELEMUKU.COM - Sekelompok pasukan bersenjata itu berjalan mengendap menyusuri hutan. Sesekali mereka memutar badan saling membelakangi dengan moncong senapan dalam posisi membidik ke bayangan dedaunan dengan mata mengawasi dari satu titik ke titik yang lain dalam upaya memburu target yang susah ditangkap.
Berseragam hijau loreng, membawa senapan Steyr, AK-101, dan pistol Sig Sauer, Satuan Tugas (satgas) Operasi Madago Raya tersebut berpatroli di hutan pegunungan di Sulawesi Tengah untuk menangkap hidup atau mati sisa-sisa dari anggota kelompok pro-ISIS, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang ditakuti, - yang jumlahnya – tiga orang!
BenarNews ikut dalam patroli tersebut, menyisir medan terjal akhir Februari lalu. Perburuan terhadap tiga buronan MIT di hutan Poso terus dilanjutkan walaupun Ali Kalora, pimpinan terakhir kelompok militan bersenjata tersebut, telah tewas di tangan satgas gabungan Polri–TNI itu September lalu.
“Tugas kami di sini adalah melanjutkan operasi perburuan DPO (Daftar Pencarian Orang) teroris yang masih bersembunyi di wilayah Poso, dan kemudian yang kedua melakukan penggalangan kepada masyarakat sekitar supaya mereka tidak terpengaruh atau ikut paham-paham radikal,” kata Kombes. Pol. Arif Budiman, Komandan Satgas Madago Raya, kepada BenarNews.
Kombes Arif menegaskan ia ingin menuntaskan operasi ini secepat-cepatnya. Oleh karena itu, dia mengimbau kepada para teroris yang masih ada di hutan agar segera menyerahkan diri supaya operasi ini selesai.
“Kami berharap mereka menyerahkan diri secara baik-baik. Kami akan memfasilitasi itu. Bila tidak, kami akan terus melakukan penyekatan agar mereka tidak menyebarkan paham-paham radikal kepada masyarakat,” papar Arif.
Selama bertahun-tahun, serangkaian operasi keamanan yang melibatkan lebih dari seribu tentara dan polisi itu telah gagal untuk sepenuhnya memberantas MIT. Bahkan ketika anggotanya telah berkurang hingga di bawah 10 orang, kelompok itu masih berhasil menebarkan ketakutan di tengah warga dengan melakukan pembunuhan keji - sejumlah petani dan warga desa ditemukan tewas dalam dengan kepala terpenggal.
Kembali ke lereng gunung, salah seorang komandan operasi, Kombes. Pol. Mokhamad Alfian Hidayat, mengatakan kepada BenarNews bahwa patroli serupa dilakukan rutin setiap hari. “Selain memburu teroris, patroli ini juga merupakan langkah preemtif agar masyarakat merasa aman,” kata Alfian.
“[Kadang-kadang] kami menerjunkan pasukan dari helikopter jika dicurigai ada tempat persembunyian teroris di area yang sulit dijangkau dengan berjalan kaki, karena hutan terjal dan harus mengarungi sungai,” ungkap Alfian yang juga adalah Komandan Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polda Sulteng.
MIT terbentuk pada tahun 2010, berakar pada konflik berdarah antara komunitas Muslim-Kristen di Poso yang menewaskan lebih dari 1.000 orang antara tahun 1998 dan 2001. Kelompok ini dikenal karena aksi pembunuhan yang kejam terhadap warga yang mereka anggap sebagai informan aparat keamanan. MIT juga menjadi kelompok militan pertama di Indonesia yang berbaiat kepada kelompok ekstrem Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Operasi perburuan MIT ini telah berlangsung beberapa tahun dengan nama operasi yang berbeda-beda. Madago Raya, dibentuk pada tahun 2021, lebih kecil dari satuan tugas sebelumnya. Kepala Humas Satgas Operasi Madago Raya Kombes. Pol. Didik Supranoto mengatakan total anggota pasukan Madago Raya berjumlah 1.378 personel, terdiri dari 267 tentara dan 1.111 anggota polisi yang dibagi dalam tiga wilayah operasi, yaitu Kabupaten Poso, Sigi dan Parigi Moutong.
Kritikus mengatakan jumlah ini berlebihan untuk memburu hanya tiga militan yang hanya merupakan anggota junior.
Ketiga buronan yang saat ini dikejar, menurut satgas Madago Raya, adalah Suhardin, 37, yang juga dikenal sebagai Hasan Pranata, Farhan, atau Abu Farhan; Hamzah, 30, alias Imam, Galuh, atau Nae; dan Alikhwarisman, 34, atau dikenal sebagai Askar, Jafar, Jaid, dan Pak Guru.
Dengan alasan bahwa MIT saat ini tidak mempunyai pemimpin, maka seharusnya pemburuan mereka akan lebih mudah, kata Andi Akbar, anggota Tim Pembela Muslim (TPM) Sulawesi Tengah, sebuah kelompok yang berkomitmen untuk memberikan bantuan hukum kepada orang-orang yang dituduh sebagai teroris.
Menurutnya, ukuran satuan tugas terlalu besar dan "berlebihan" karena buronan adalah individu tanpa pemimpin tanpa kemampuan taktis dibandingkan dengan pemimpin mereka yang telah terbunuh.
“Menurunkan pasukan seribu lebih dengan anggaran yang begitu besar dan kemudian dengan kurun waktu yang begitu panjang, sampai detik ini kasus MIT tidak tuntas juga,” kata Akbar kepada BenarNews di Palu.
Kombes Didik Supranoto, walaupun mengakui bahwa pasukan Madago Raya besar ia menyangkal pandangan Akbar.
“Mereka diterjunkan juga untuk melindungi masyarakat dari bahaya laten teror, bukan cuma untuk pemburuan. Selain itu cakupan area operasi yang sangat luas perlu cukup personel,” kata Didik kepada BenarNews di kantor Polda Sulawesi Tengah di Palu.
Kombes Didik menambahkan misi Madago Raya termasuk juga membina masyarakat, salah satunya melalui penceramah agama, agar tidak terpengaruh paham radikal mengingat para penduduk di ketiga daerah operasi tersebut masih ada yang melindungi para buronan teroris sehingga menyulitkan aparat untuk menangkap.
Tuduhan lain yang dilontarkan terhadap satuan tugas pemburu MIT oleh Andi Akbar dan beberapa aktivis lainnya adalah bahwa Madago Raya sengaja membiarkan tiga buronan yang tersisa itu tidak tertangkap, sehingga pemerintah daerah tetap bisa menerima dana untuk gugus tugas dari pemerintah pusat di Jakarta.
“Ada kemungkinan Satgas Madago Raya sengaja mengulur waktu atau membiarkannya di sana agar dana operasional tetap mengalir,” kata Akbar.
Kepala Operasi Satgas Madago Raya, Kombes. Pol. Arif Budiman menampik tuduhan Akbar sebagai "sama sekali tidak benar."
“Pencarian tidak semudah yang orang lihat karena banyak faktor yang dihadapi, antara lain medan yang terjal dan luas serta kelihaian DPO dalam bersembunyi dari kejaran petugas,” kata Arif kepada BenarNews.
Nasir Abas, mantan petinggi organisasi teror Jemaah Islamiyah (JI), jaringan teroris terafiliasi al-Qaeda di Asia Tenggara, yang berada dibalik serangan teror Bom Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang, mengatakan alasan lain atas sulitnya menangkap sisa-sisa MIT.
“Penduduk di sana secara diam-diam melindungi mereka. Jadi tidak akan mudah menangkap mereka,” kata Nasir Abas kepada BenarNews di Jakarta.
Karena menyadari kemungkinan ini, Wakil Kepala Satgas Humas Operasi Madago Raya, AKBP Yudho Huntoro, lebih mengedepankan cara pendekatan persuasif melalui para mantan narapidana teroris (napiter) untuk mencari tahu keberadaan para buronan tersebut.
Bahkan, Nasir Abas dan terpidana Bom Bali Ali Imron, keduanya bekerja sama dengan polisi untuk mengungkap keberadaan jaringan rahasia JI.
Kalangan masyarakat Poso dalam perbincangan “warung kopi” mengatakan bahwa mereka enggan menyerahkan diri juga karena tidak yakin bahwa aparat keamanan akan memenuhi janji mereka untuk tidak menembak atau menyiksa mereka.
“Polisi biasanya langsung menembak teroris untuk membalas dendam karena membunuh teman-teman mereka,” kata seorang warga.
Yudho membantah pernyataan tersebut.
“Syukur-syukur kalau mereka para DPO mau menyerahkan diri kepada kami, kepada Polri dan TNI, nanti keamanan mereka akan kami jamin,” kata Yudho.
Tapi Rafli Aksa, 34, mantan napiter yang pernah divonis 8 tahun penjara dan menjalaninya selama lima tahun penjara atas kejahatan menembak polisi, menganggap mustahil para buronan itu mau menyerahkan diri secara sukarela dan hidup seperti dirinya mengingat ideologi mereka sudah terbentuk kuat dan tidak mudah mengubah keyakinan mereka.
“Ini bukan soal makan tidak makan, tapi soal ideologi. Dulu, saya tidak peduli mati-mati lah. Jadi tidak mungkin mereka bisa diajak menyerahkan diri selama masih memegang keyakinannya,” kata Rafli, yang bebas dari penjara pada 23 Maret 2016, kepada BenarNews di peternakannya di Poso. Rafli bisa terjun ke bisnis beternak ayam ini berkat bantuan program deradikalisasi yang dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Sebagian masyarakat yang ditemui BenarNews sendiri mengakui kondisi Poso saat jauh lebih kondusif dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, meski bahaya laten tetap ada. Oleh karena itu, kata Yunus Laode, 88, seorang petani di Poso, keberadaan satgas perlu dipertahankan.
Yunus Laode, salah seorang petani setempat, mengatakan satgas perlu dipertahankan.
“Saya sudah pernah menyaksikan orang dipenggal kepalannya, ngeri sekali. Saya kira cukuplah itu,” kata Yunus, ditemui BenarNews di tengah patroli Satgas Madago Raya.
“Makanya saya mohon bapak polisi dan tentara ini tetap ada di sini supaya kami aman.”
Pada Mei 2021, ketika militan MIT membunuh empat petani di Kalemago, sebuah desa di Kabupaten Poso, salah satu korban ditemukan dengan kepala terpenggal, kata Didik saat itu. Dalam serangan terpisah pada November 2020, korban lain juga dipenggal.
Merespons aspirasi Yunus Laode, Kombes Alfian di sela memimpin patroli, mengatakan mengawasi potensi lahirnya bibit muda teroris di tengah masyarakat juga tidak kalah penting, di samping misi pengejaran sisa teroris yang masih buron di hutan.
Jadi, kata dia, keberadaan pasukan Satgas Madago Raya ini juga untuk menjamin masyarakat tenang dalam melakukan aktivitas sehari-hari tanpa kuatir atas ancaman dari para teroris.
Untuk mempercepat operasi, kata Alfian, Satgas Madago Raya telah menurunkan 200-an personel inteligen untuk mengetahui keberadaan para buronan teroris secara persis.
“Masalahnya mereka itu sangat menguasai medan Gunung Biru. Sehingga gampang sekali mereka buat mengumpet,” kata Alfian, menyebut wilayah hutan pegunungan di Tamanjeka, Kecamatan Poso, yang dikenal sebagai tempat persembunyian MIT.
“Ibaratnya ikan tiga ekor, kolamnya ribuan hektar” . (Keisyah Aprilia/ Dandy Koswaraputra| benarnews)