Shell Bantah Jual 35 Persen Saham, Fokus POD Blok Masela Bersama Inpex
pada tanggal
Tuesday, May 7, 2019
Edit
JAKARTA, LELEMUKU.COM - PT. Shell Indonesia membantah rencana penjualan 35% saham partisipasi Lapangan Abadi, Blok Masela yang berlokasi di Laut Arafuru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku.
Menurut General Manager External Relations Shell Indonesia, Rhea Sianipar, pihaknya tidak memberikan komentar terkait dengan rumor atau spekulasi pelepasan saham partisipasi di blok minyak dan gas bumi lepas pantai tersebut.
"Saat ini fokus kami bekerja bersama dengan Inpex sebagai operator, untuk memberikan rencana pembangunan yang dapat diinvestasikan di proyek Abadi," katanya pada Minggu (05/05/2019).
Dikatakan, Shell yang memiliki saham partisipasi di Blok Masela sedangkan Inpex Corporation sebagai operator memegang kepemilikan saham partisipasi sebesar 65% sedang fokus untuk membahas revisi pertama proposal rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Proyek Abadi.
"Kami tetap sepenuhnya fokus dan terus bekerja sama dengan Inpex sebagai operator dalam mengusulkan rencana pengembangan Lapangan Abadi yang layak investasi," tambah dia.
Revisi PoD itu dilakukan menyusul perubahan skema pengembangan Lapangan Abadi dari kilang gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) terapung menjadi kilang LNG darat.
Hal yang sama diungkapkan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto yang secara informal telah menerima bantahan tersebut dari Shell.
Ia menyatakan tidak ada rencana penjualan saham tersebut, dan kalaupun saham Shell dijual, proyek pengembangan Blok Masela tetap berjalan.
"Tidak ada masalah. Kan di sana pemimpinnya (proyek pengembangan Blok Masela) Inpex," ujar Dwi kepada CNN Indonesia.
Pengembangan proyek Lapangan Abadi Blok Masela saat ini memang masih tersendat. Saat ini operator masih menyiapkan rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) baru yang ditargetkan rampung sebelum akhir tahun ini.
Padahal, PoD pertama blok Masela sudah ditandatangani pemerintah pada tahun 2010. Dalam perkembangannya, pada 2014, Inpex bersama Shell merevisi PoD setelah ditemukannya cadangan baru gas di Lapangan Abadi, Masela dari 6,97 triliun kaki kubik (TCF) ke level 10,73 TCF.
Di dalam revisi tersebut, kedua investor sepakat akan meningkatkan kapasitas fasilitas LNG dari 2,5 MTPA menjadi 7,5 MTPA dengan skema lepas pantai (offshore).
Namun, di awal 2016 lalu, Presiden Joko Widodo meminta skema pembangunan kilang LNG Masela diubah menjadi darat (onshore). Konsekuensi dari permintaan tersebut, Inpex dan Shell harus mengulang kembali proses kajian pengembangan LNG dengan skema baru.
Akibatnya, proyek yang sedianya bisa mulai konstruksi pada 2018 menjadi molor setidaknya hingga 2020. Adapun operasional produksi diperkirakan baru bisa dilakukan paling cepat 2026.
Sebelumnya menurut Reuters pada Jumat (03/05/2019), induk Shell Indonesia, Royal Dutch Shell berencana menjual porsi sahamnya sebesar 35% dengan nilai US$1 miliar guna mendukung pembayaran atas akuisisi BG Group senilai US$54 miliar yang dilakukan pada 2015 lalu.
Alasan lain dari rencana penjualan saham tersebut juga didasarkan pada sulitnya Indonesia menarik investasi hulu minyak dan gas bumi (migas) ke dalam negeri.
Keputusan Shell untuk menjual saham dalam proyek hulu migas yang masuk dalam proyek strategis nasional ini dilakukan pascaperusahaan Inggris—Belanda ini keluar dari proyek LNG di Baltik yang dioperatori oleh Gazprom.
"Mengikuti pengumuman Gazprom pada 29 tentang konsep pengembangan dari Baltic, kami memutuskan untuk menghentikan keterlibatan dari proyek tersebut," ungkap perwakilan Shell Russia Cederic Cremers.
Shell disebut memiliki komitmen untuk memperkuat bisnis LNGnya yang sudah mapan, Chief Financial Officer Jessica Uhl mengatakan bahwa pihaknya cukup senang dengan portofolio bisnis LNG dan optimistis bertumbuh sejalan dengan perkembangan pasar. (Albert Batlayeri) berita terbaru dari Lelemuku.com
Menurut General Manager External Relations Shell Indonesia, Rhea Sianipar, pihaknya tidak memberikan komentar terkait dengan rumor atau spekulasi pelepasan saham partisipasi di blok minyak dan gas bumi lepas pantai tersebut.
"Saat ini fokus kami bekerja bersama dengan Inpex sebagai operator, untuk memberikan rencana pembangunan yang dapat diinvestasikan di proyek Abadi," katanya pada Minggu (05/05/2019).
Dikatakan, Shell yang memiliki saham partisipasi di Blok Masela sedangkan Inpex Corporation sebagai operator memegang kepemilikan saham partisipasi sebesar 65% sedang fokus untuk membahas revisi pertama proposal rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Proyek Abadi.
"Kami tetap sepenuhnya fokus dan terus bekerja sama dengan Inpex sebagai operator dalam mengusulkan rencana pengembangan Lapangan Abadi yang layak investasi," tambah dia.
Revisi PoD itu dilakukan menyusul perubahan skema pengembangan Lapangan Abadi dari kilang gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) terapung menjadi kilang LNG darat.
Hal yang sama diungkapkan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto yang secara informal telah menerima bantahan tersebut dari Shell.
Ia menyatakan tidak ada rencana penjualan saham tersebut, dan kalaupun saham Shell dijual, proyek pengembangan Blok Masela tetap berjalan.
"Tidak ada masalah. Kan di sana pemimpinnya (proyek pengembangan Blok Masela) Inpex," ujar Dwi kepada CNN Indonesia.
Pengembangan proyek Lapangan Abadi Blok Masela saat ini memang masih tersendat. Saat ini operator masih menyiapkan rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) baru yang ditargetkan rampung sebelum akhir tahun ini.
Padahal, PoD pertama blok Masela sudah ditandatangani pemerintah pada tahun 2010. Dalam perkembangannya, pada 2014, Inpex bersama Shell merevisi PoD setelah ditemukannya cadangan baru gas di Lapangan Abadi, Masela dari 6,97 triliun kaki kubik (TCF) ke level 10,73 TCF.
Di dalam revisi tersebut, kedua investor sepakat akan meningkatkan kapasitas fasilitas LNG dari 2,5 MTPA menjadi 7,5 MTPA dengan skema lepas pantai (offshore).
Namun, di awal 2016 lalu, Presiden Joko Widodo meminta skema pembangunan kilang LNG Masela diubah menjadi darat (onshore). Konsekuensi dari permintaan tersebut, Inpex dan Shell harus mengulang kembali proses kajian pengembangan LNG dengan skema baru.
Akibatnya, proyek yang sedianya bisa mulai konstruksi pada 2018 menjadi molor setidaknya hingga 2020. Adapun operasional produksi diperkirakan baru bisa dilakukan paling cepat 2026.
Sebelumnya menurut Reuters pada Jumat (03/05/2019), induk Shell Indonesia, Royal Dutch Shell berencana menjual porsi sahamnya sebesar 35% dengan nilai US$1 miliar guna mendukung pembayaran atas akuisisi BG Group senilai US$54 miliar yang dilakukan pada 2015 lalu.
Alasan lain dari rencana penjualan saham tersebut juga didasarkan pada sulitnya Indonesia menarik investasi hulu minyak dan gas bumi (migas) ke dalam negeri.
Keputusan Shell untuk menjual saham dalam proyek hulu migas yang masuk dalam proyek strategis nasional ini dilakukan pascaperusahaan Inggris—Belanda ini keluar dari proyek LNG di Baltik yang dioperatori oleh Gazprom.
"Mengikuti pengumuman Gazprom pada 29 tentang konsep pengembangan dari Baltic, kami memutuskan untuk menghentikan keterlibatan dari proyek tersebut," ungkap perwakilan Shell Russia Cederic Cremers.
Shell disebut memiliki komitmen untuk memperkuat bisnis LNGnya yang sudah mapan, Chief Financial Officer Jessica Uhl mengatakan bahwa pihaknya cukup senang dengan portofolio bisnis LNG dan optimistis bertumbuh sejalan dengan perkembangan pasar. (Albert Batlayeri) berita terbaru dari Lelemuku.com