Inilah Pro Kontra dan Beda Pendapat Terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol di DPR RI
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (Minol) kembali diusulkan untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. RUU Larangan Minuman Beralkohol ini diusulkan oleh 21 anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Mereka adalah 18 orang dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), satu orang dari Fraksi Gerindra, dan dua orang dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Salah satu pengusul dari Fraksi PPP, Illiza Sa'aduddin Djamal mengatakan RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol. Illiza juga mengklaim adanya RUU tersebut demi menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol.
"Saat ini minuman beralkohol belum diatur secara spesifik dalam bentuk UU. Sebab saat ini hanya dimasukkan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan pasal yang sangat umum dan tidak disebut secara tegas oleh UU," kata Illiza dalam keterangannya, Kamis, 12 November 2020.
Illiza mengatakan larangan minuman beralkohol merupakan amanat konstitusi dan agama. Dia merujuk pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Legislator asal Aceh ini juga merujuk surat Al-Maidah (90-91) yang artinya berbunyi 'wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk berhala), dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung'.
Illiza menjelaskan ada sejumlah usulan norma larangan minuman beralkohol. Di antaranya, setiap orang yang memeluk agama Islam dan agama lainnya dilarang untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual dan mengonsumsi larangan minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol campuran atau campuran yang memabukkan.
Dalam paparannya saat rapat Badan Legislasi Selasa lalu, 10 November 2020, Illiza mengutip data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2011 yang menunjukkan sebanyak 2,5 juta penduduk dunia meninggal akibat alkohol dan sekitar 9 persen kematian terjadi pada usia 15-29 tahun atau usia produktif. Pada 2014, kata Illiza, konsumsi alkohol di dunia dapat menyebabkan kematian lebih dari 3,3 juta orang setiap tahunnya atau 5,9 persen dari semua kematian.
Adapun di Indonesia, Illiza mengatakan hasil riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan pada 2007 mencatat 4,9 persen remaja menjadi konsumen alkohol. Kemudian riset sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat pada 2014 mencatat jumlahnya melonjak menjadi 23 persen dari total jumlah remaja.
"Melihat realitas yang terjadi seharusnya pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol dapat dilanjutkan dan disahkan demi kepentingan generasi yang akan datang," kata Illiza.
Beda Pendapat
Usulan ini menuai isyarat penolakan setidaknya dari dua fraksi besar di DPR, yakni Fraksi Golkar dan Fraksi PDIP. Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Baleg, Firman Soebagyo mengatakan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini telah dibahas sejak DPR periode 2014-2019. Namun pembahasannya mentok lantaran perbedaan pendapat DPR dan pemerintah. "Pemerintah ketika mempertahankan terkait pengaturan, tetapi pengusul tetap kukuh terhadap pelarangan," kata Firman.
Firman juga mengingatkan ada persoalan keberagaman yang perlu diperhatikan. Dia mengatakan minuman beralkohol pun digunakan di daerah atau agama tertentu untuk kepentingan ritual, seperti Bali, Maluku, Papua, Sumatera Utara (Sumut), Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga Sulawesi Utara (Sulut).
Senada dengan Firman, Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Baleg DPR, Sturman Panjaitan meminta pengusul jeli dalam memperhatikan keberagaman di Indonesia.
"Saya agama Kristen, di adat umat Kristen ada namanya perjamuan kudus, kami minum anggur. Itu alkohol juga meskipun kecil. Apa mau kita hentikan mereka enggak boleh lagi perjamuan kudus?" ujar Sturman dalam rapat Baleg Selasa, 10 November lalu.
Firman Soebagyo pun mengusulkan pimpinan Badan Legislasi untuk berkomunikasi terlebih dulu dengan pemerintah terkait RUU yang akan masuk Prolegnas 2021. Ia beralasan agar RUU yang diusulkan DPR sejalan dengan yang menjadi perhatian dan fokus pemerintah.
"Jangan sampai nanti setelah disetujui diharmonisasi di DPR, sampai pimpinan tidak jalan. Atau sebaliknya dari pimpinan DPR sudah setuju sampai kepada tingkat pemerintah, pemerintah tidak setuju," kata Firman dalam rapat Badan Legislasi hari ini, Kamis, 12 November 2020.(Tempo)