-->

Polri Tangkap 22 Terduga Anggota Jemaah Islamiyah di Jakarta dan Sumatra

Polri Tangkap 22 Terduga Anggota Jemaah Islamiyah di Jakarta dan Sumatra.lelemuku.com.jpg

JAKARTA, LELEMUKU.COM - Sebanyak 22 terduga anggota kelompok radikal terlarang Jemaah Islamiyah (JI) ditangkap Tim A Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri di Jakarta dan Sumatra, demikian kata kepolisian, Senin (22/3/2021)

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen. Pol. Rusdi Hartono mengatakan dua orang di DKI Jakarta, enam di Sumatra Barat dan 14 di Sumatra Utara ditangkap hari Jumat sebagai bagian dari pengembangan atas penangkapan 22 orang anggota kelompok di Jawa Timur akhir bulan lalu dan awal Maret.

“Ini pengembangan dari kelompok di Jatim yang 22 kemarin sudah dibawa ke Jakarta,” kata Rusdi dalam keterangan persnya di Jakarta.

Rusdi belum bisa mengungkap identitas dan peran ke-22 orang yang ditangkap tersebut, namun mereka diduga kuat sebagai bagian dari jaringan yang dipimpin Fahim, tokoh senior JI yang ditangkap di Jawa Timur, pada 26 Februari 2021.

“Karena Fahim ini kan kelompok JI. Pengembangan dari Fahim itu menuju ke Jakarta, Sumbar dan juga Sumut,” kata Rusdi, “sekarang masih dikembangkan, kita tunggu dari Densus.”

Fahim dan 21 orang lainnya yang terafiliasi dengan JI telah ditangkap Densus 88 dalam serangkaian penangkapan sejak akhir Februari hingga awal Maret 2021. Dalam penangkapan itu, polisi turut menyita pistol, pisau pedang panjang, parang, buku mengenai jihad, serta menemukan sebuah bunker yang dijadikan tempat perakitan senjata dan bahan peledak.

Fahim alias Usman Haedar bin Seff adalah sosok senior JI yang memiliki keahlian dalam merekrut anggota khusus untuk wilayah Jawa Timur.

Kamis pekan lalu, 22 orang tersebut dipindahkan dari Jawa Timur ke Rumah Tahanan (Rutan) Khusus Teroris di Cikeas, Jawa Barat.

“Kelompok ini, JI, dan rekan-rekan Densus sering menyebutnya Kelompok Fahim, yang merupakan jaringan pelaku teror yang kerap melakukan aksinya di Indonesia yang selama ini berafiliasi ke kelompok Alqaeda,” kata Rusdi, dalam keterangan pers di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Kamis lalu.

Kepala Bagian Operasional Densus 88 Polri Aswin Siregar mengatakan Fahim mendirikan tempat latihan di Jawa Timur untuk menyiapkan jihadis bertempur di Madinah, Arab Saudi, pada tahun depan.

Aswin tidak menjelaskan rencana pertempuran itu, hanya menegaskan bahwa Densus 88 akan terus memburu sisa-sisa kelompok JI di Indonesia.

“Dalam operasi saat ini, Fahim mendirikan tempat latihan dengan program untuk membentuk kelompok jihadis bertempur di Madinah tahun depan,” katanya dalam jumpa pers, pekan lalu.

“Kami akan terus memburu mereka, tidak akan ada tempat bagi JI di Indonesia,” tukasnya.

Akhir tahun lalu, Densus 88 juga menangkap 22 tersangka anggota JI di Lampung, Sumatra, termasuk di antaranya Upik Lawanga dan Zulkarnaen yang telah menjadi buronan kepolisian selama belasan tahun karena terlibat dalam aksi pengeboman dan pembuatan senjata.

Tren turun selama pandemi

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengatakan tren potensi radikalisme tercatat turun selama masa pandemi COVID-19 pada tahun 2020.

Dari hasil survei BNPT bersama Alvara Research dan Nazarudin Umar Foundation, disebutkan bahwa tren potensi radikalisme pada tahun 2017 sebesar 55,2 persen (kategori sedang), kemudian turun pada tahun 2019 ke posisi 38,4 persen (kategori rendah), dan menjadi 14 persen pada tahun 2020 (kategori sangat rendah).

“Hal tersebut menunjukkan bawah selama masa pandemi COVID-19, tren potensi radikalisme cenderung mengalami penurunan,” kata Boy, dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, Senin.

Boy juga menyebut tingkat radikalisme Indonesia berada di level medium dan cenderung lebih aman dibanding negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Filipina, Thailand dan Myanmar.

Kendati demikian, Boy tetap mengingatkan adanya potensi pergeseran pola aksi terorisme yang semula dilakukan secara langsung menjadi daring.

“Maka peran BNPT semakin penting dan kompleks di bidang pencegahan dan penanggulangan terorisme. Hal ini perlu menjadi perhatian karena jumlah pengguna internet di Indonesia pada awal tahun 2021 telah mencapai 202,6 juta jiwa,” katanya.

BNPT mencatat sepanjang 2020, otoritas penegak hukum telah melakukan penindakan kepada 232 tersangka terorisme dengan perincian 16 telah divonis, 131 orang masih dalam proses persidangan, 75 penyidikan, dan 10 meninggal dunia saat penangkapan.

Adapun sepanjang Januari hingga Maret 2021, sebanyak 66 orang ditangkap dengan 62 di antaranya masih dalam tahap penyidikan dan sisanya meninggal dunia. Pada 2019, kepolisian menangkap 275 tersangka terorisme, turun dari 2018 dengan 396 orang yang ditangkap.

“Tercatat sepanjang tahun 2020, terdapat enam orang yang menjadi residivis, tiga orang dari jaringan JAD, satu orang dari jaringan MIT, dan dua orang dari jaringan JI,” kata Boy.

Boy menyebut target penyerangan yang dilakukan kelompok teroris JI, JAD (Jamaah Ansharut Daulah), maupun MIT (Mujahidin Indonesia Timur) masih diarahkan kepada aparatur negara yang dianggap sebagai pemerintahan thogut.

“Kasus baru oleh para residivis tersebut masih menjadikan aparat penegak hukum sebagai target serangan,” tukasnya.

Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang dirilis Januari 2021, menyebut dukungan para ekstrimis Indonesia kepada kelompok Negara Islam (ISIS) menurun sepanjang tahun 2020.

JAD, yang pernah menjadi kelompok pro-ISIS terbesar di Indonesia, sebagian besar sudah tidak aktif lagi saat ini berkat penangkapan dan pembelotan pimpinannya, serta kesadaran para anggota bahwa dukungan terhadap ISIS lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya.  

Pandemi COVID-19 juga menjadi salah satu faktor yang melemahkan pendanaan untuk kelompok ekstremis.

“Tidak ada kelompok ekstremis yang beroperasi di Indonesia saat ini yang menghadirkan ancaman serius bagi stabilitas Indonesia atau yang berada di luar kapasitas polisi untuk menanganinya,” kata Direktur IPAC Sidney Jones, dalam keterangan yang menyertai laporan.

Menurut laporan itu, Indonesia telah berhasil membatasi ruang gerak kelompok teroris, setelah melakukan revisi undang-undang terorisme pada tahun 2018. Akibat dari pengesahan aturan itu, kelompok teroris semakin mudah ditangkap dan dilumpuhkan aparat kepolisian.

Pejuang ISIS asal Indonesia

Dalam laporannya, BNPT juga berencana akan terbang ke Irak, Suriah, dan Turki bersama dengan Satuan Tugas Foreign Terrorist Fighter (Satgas FTF) untuk melakukan pendataan terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang pernah bergabung menjadi pejuang Negara Islam (ISIS).

“Kami rencananya setelah masa pandemi, setelah jalur penerbangan terbuka kembali, dengan Satgas FTF akan bernagkat ke Irak dan Suriah, termasuk Turki dan sekitarnya untuk melakukan assessment terhadap mereka,” kata Boy.

Pendataan itu dilakukan untuk merespons desakan dari sejumlah pihak kepada Indonesia untuk merepatriasi para mantan pejuang ISIS tersebut.

“Banyak pihak yang melakukan desakan kepada negara kita untuk melakukan repatriasi terhadap mereka mereka yang saat ini berada di luar negeri. Tentu ini belum sampai kepada keputusan itu tapi tentu harus ada verifikasi dan assessment terlebih dahulu oleh tim Satgas FTF,” kata Boy.

Februari tahun lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mohammad Mahfud MD mengatakan pemerintah telah memutuskan untuk memulangkan ratusan WNI yang bergabung dengan ISIS di berbagai negara.

Sidang Dewan Keamanan PBB pada September 2020 gagal mengadopsi rancangan resolusi terkait penegakan hukum, rehabilitasi, dan reintegrasi teroris karena veto dari Amerika Serikat (AS) karena dianggap melupakan poin terpenting tentang repatriasi eks-militan ISIS untuk diadili di negara asal.

Duta Besar AS untuk PBB Kelly Craft menekankan bahwa repatriasi dan pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh para pejuang kelompok militan ISIS penting untuk diikutsertakan dalam rancangan resolusi tersebut sehingga mereka tidak membentuk sel-sel baru ISIS.

“Amerika Serikat memberikan contoh, membawa pulang kembali warga kami dan mengadili mereka jika diperlukan. Setiap negara harus bertanggung jawab atas warga mereka yang terlibat dalam terorisme,” ujar Kelly dalam pernyataan tertulisnya.

Beberapa negara Eropa Barat, termasuk Inggris dan Prancis, telah menentang kembalinya para pejuang ISIS dan keluarganya, kecuali anak-anak seperti mereka yang yatim piatu.

Kedua negara tersebut, bersama Indonesia, Cina, Jerman, Rusia, termasuk dalam 14 negara anggota yang setuju terhadap resolusi tersebut.

Per 12 Maret 2021, BNPT mencatat masih ada 20 WNI eks-ISIS yang berada di beberapa kamp di Turki dan 115 lainnya di Suriah. Sementara 272 WNI eks-ISIS lainnya tidak diketahui keberadaannya dengan kemungkinan telah meninggal dunia atau relokasi ke wilayah lain. (BenarNews)

Recent Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel