Pantau Kapal China di Laut Natuna, Laksamana Muhammad Ali Kirim Kapal Perang
pada tanggal
Sunday, January 15, 2023
Edit
WASHINGTON, LELEMUKU.COM - Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali, Sabtu (14/1), mengatakan pihaknya telah mengerahkan kapal perang ke Laut Natuna Utara untuk memantau pergerakan kapal penjaga pantai China di wilayah yang disengketakan tersebut.
Data pelacakan kapal menunjukkan kapal milik China, CCG 5901, telah berlayar di Laut Natuna, khususnya di dekat Blok Tuna dan lapangan migas Chim Sao milik Vietnam sejak 30 Desember.
TNI AL mengerahkan sebuah kapal perang, pesawat patroli maritim, dan drone untuk memantau pergerakan kapal tersebut, ujar Laksamana Muhammad Ali kepada Reuters.
"Kapal China itu tidak melakukan aktivitas yang mencurigakan," katanya. "Namun perlu kita pantau karena sudah lama berada di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.”
Juru bicara kedutaan China di Jakarta tidak dapat dimintai komentar segera.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada 1982 memberikan hak navigasi kapal melalui ZEE.
Kegiatan tersebut dilakukan setelah adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dan Vietnam, dan persetujuan dari Indonesia untuk mengembangkan Blok Tuna di Laut Natuna, dengan perkiraan total investasi lebih dari $3 miliar hingga dimulainya produksi.
Pada tahun 2021, kapal-kapal dari Indonesia dan China saling mengawasi selama berbulan-bulan di dekat anjungan minyak di blok Tuna.
Saat itu, China mendesak Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran. Beijing mengklaim aktivitas eksplorasi migas tersebut berada di dalam wilayahnya.
Indonesia yang merupakan negara terbesar di Asia Tenggara itu mengatakan bahwa di bawah UNCLOS, ujung selatan Laut China Selatan adalah wilayah zona ekonomi eksklusifnya. Jakarta menamai wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara pada 2017.
China menolak klaim ini, dengan mengatakan bahwa wilayah maritim tersebut berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut China Selatan. Wilayah itu ditandai dengan "sembilan garis putus" berbentuk U, sebuah batas yang menurut Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2016 tidak memiliki dasar hukum . (VOA)