Abdul Manan Nilai 10 Pasal RUU KUHP Ancam Kebebasan Pers
pada tanggal
Wednesday, September 4, 2019
Edit
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Abdul Manan mengatakan pemerintah dan DPR mengabaikan masukan masyarakat sipil soal pasal-pasal RUU KUHP. Ini terlihat masih ditemukannya 10 pasal dalam RUU KUHP yang mengancam kebebasan pers dan berpotensi mengkriminalisasi jurnalis. Kesepuluh pasal tersebut adalah dalam pasal 219, 241, 247, 262, 263, 281, 305,354, 440, dan 444.
Pasal-pasal tersebut antara lain membahas soal pasal penghinaan terhadap presiden, pemerintah dan penguasa, pasal penyiaran berita bohong dan pasal penghinaan terhadap agama.
"Ada kriminalisasi yang sifatnya estimasi, ada juga yang sudah terjadi kasusnya. Itu saya kira menjadi alasan sangat kuat mengapa kita khawatir dengan pasal itu," jelas Abdul Manan saat menggelar konferensi pers di kantor AJI, Jakarta (02/09/2019).
Abdul Manan mencontohkan kasus penghinaan terhadap presiden pernah menimpa Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Supratman. Ia dianggap mencemarkan nama baik Megawati Soekanoputri dalam laporan "Mulut Mega Bau Solar", "Mega Lintah Darat" dan "Mega Lebih Ganas dari Sumanto" pada 2003. Supratman kemudian divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan.
Sementara itu, Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menyoroti pasal penghinaan terhadap pengadilan di pasal 281 yang dapat menjerat jurnalis dan perusahaan media yang kerap menulis soal putusan sidang dan jalannya peradilan. Menurutnya, pasal tersebut berpotensi digunakan penegak hukum yang buruk dalam membungkam media yang menulis berita bernada kritik atas putusan.
"Jadi nanti kalau misalkan muncul foto atau rekaman dalam karya jurnalis ini bisa disengketakan hakim sendiri dengan menggunakan pasal ini," jelas Ade Wahyudin.
Ade mendesak DPR dan pemerintah tak memaksakan untuk mengesahkan RUU KUHP dalam waktu singkat. Di samping itu, LBH Pers juga meminta DPR dan pemerintah mengubah soal pencemaran nama baik dari ranah pidana ke perdata.
Kata Ade, mempertahankan pemidanaan soal pencemaran nama baik mengesankan pembuat undang-undang tak mengikuti perkembangan internasional yang mendorong penyelesaian semacam itu melalui jalur perdata.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Panja RUU KUHP Nasir Djamil mengatakan, pembahasan RUU KUHP belum final. Ia mengatakan pihaknya akan menyisir kembali pasal-pasal yang dianggap bermasalah.
"Kita akan sisir satu-satu nanti. Dan itu sudah komitmen dari Ketua Panja Mulfachri Harahap untuk menyisir kemudian baru disahkan," jelas Nasir Djamil saat dihubungi VOA, Selasa (3/9).
Nasir Djamil menambahkan RUU KUHP kemungkinan besar akan disahkan pada September 2019 ini. Namun, pembahasan RUU KUHP ini juga tidak menutup kemungkinan akan dilanjutkan oleh DPR yang baru nanti. Sebab, Rapat Paripurna DPR pada hari ini, Selasa (3/9) telah mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Salah satu poinnya itu disebutkan bahwa jika RUU di periode ini tidak selesai maka bisa diserahkan, dilanjutkan DPR berikutnya. Sebelum Undang-undang ini kita tidak bisa carry over," tambahnya. (VOA-Sasmito Madrim)
Pasal-pasal tersebut antara lain membahas soal pasal penghinaan terhadap presiden, pemerintah dan penguasa, pasal penyiaran berita bohong dan pasal penghinaan terhadap agama.
"Ada kriminalisasi yang sifatnya estimasi, ada juga yang sudah terjadi kasusnya. Itu saya kira menjadi alasan sangat kuat mengapa kita khawatir dengan pasal itu," jelas Abdul Manan saat menggelar konferensi pers di kantor AJI, Jakarta (02/09/2019).
Abdul Manan mencontohkan kasus penghinaan terhadap presiden pernah menimpa Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Supratman. Ia dianggap mencemarkan nama baik Megawati Soekanoputri dalam laporan "Mulut Mega Bau Solar", "Mega Lintah Darat" dan "Mega Lebih Ganas dari Sumanto" pada 2003. Supratman kemudian divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan.
Sementara itu, Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menyoroti pasal penghinaan terhadap pengadilan di pasal 281 yang dapat menjerat jurnalis dan perusahaan media yang kerap menulis soal putusan sidang dan jalannya peradilan. Menurutnya, pasal tersebut berpotensi digunakan penegak hukum yang buruk dalam membungkam media yang menulis berita bernada kritik atas putusan.
"Jadi nanti kalau misalkan muncul foto atau rekaman dalam karya jurnalis ini bisa disengketakan hakim sendiri dengan menggunakan pasal ini," jelas Ade Wahyudin.
Ade mendesak DPR dan pemerintah tak memaksakan untuk mengesahkan RUU KUHP dalam waktu singkat. Di samping itu, LBH Pers juga meminta DPR dan pemerintah mengubah soal pencemaran nama baik dari ranah pidana ke perdata.
Kata Ade, mempertahankan pemidanaan soal pencemaran nama baik mengesankan pembuat undang-undang tak mengikuti perkembangan internasional yang mendorong penyelesaian semacam itu melalui jalur perdata.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Panja RUU KUHP Nasir Djamil mengatakan, pembahasan RUU KUHP belum final. Ia mengatakan pihaknya akan menyisir kembali pasal-pasal yang dianggap bermasalah.
"Kita akan sisir satu-satu nanti. Dan itu sudah komitmen dari Ketua Panja Mulfachri Harahap untuk menyisir kemudian baru disahkan," jelas Nasir Djamil saat dihubungi VOA, Selasa (3/9).
Nasir Djamil menambahkan RUU KUHP kemungkinan besar akan disahkan pada September 2019 ini. Namun, pembahasan RUU KUHP ini juga tidak menutup kemungkinan akan dilanjutkan oleh DPR yang baru nanti. Sebab, Rapat Paripurna DPR pada hari ini, Selasa (3/9) telah mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Salah satu poinnya itu disebutkan bahwa jika RUU di periode ini tidak selesai maka bisa diserahkan, dilanjutkan DPR berikutnya. Sebelum Undang-undang ini kita tidak bisa carry over," tambahnya. (VOA-Sasmito Madrim)