Leunard Maiseka Ungkap Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Desa Turut Lestarikan Bahasa Tanimbar
SAUMLAKI, LELEMUKU.COM – Ketua Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Desa (YPMD) Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku, Leunard L. Maiseka, S.I.P mengungkapkan jika pihaknya bekerjasama dengan Gereja Protestan Maluku (GPM) untuk turut melestarikan bahasa daerah di Tanimbar.
Menurutnya kerjasama tersebut berdasarkan kesamaan visi bahwa bahasa adalah alat pewartaan yang bisa langsung menyentuh umat. Melalui bahasa daerah umat Kristen bisa menyampaikan paduan suara, khotbah, renungan bahkan doa yang mempunyai arti sangat kuat bagi umat.
“Dengan kesadaran misi ini, GPM membuat MoU bersama YPMD pada Oktober 2015 lalu dengan kebutuhannya adalah Firman Tuhan dan lagu-lagu pujian dalam bahasa daerah. Karena memang dulu sulit dapatkan orang yang punya panggilan untuk melayani di bidang penterjemah alkitab dalam bahasa suku atau daerah,” ungkap dia di ruang kerjanya kepada Lelemuku.com pada Rabu (11/12/2019).
Berdasarkan kerjasama itu, YPMD membentuk lima tim bahasa untuk Kepulauan Tanimbar, diantaranya tim untuk bahasa Fordata, Yamdena Timur, Selaru, Seluasa dan Makatian. Namun dalam pembentukan tim itu ditemukan persoalan teknis, karena adanya sub dialeg yang berbeda, seperti pada bahasa Yamdena Timur dengan dialeg Nus Das dan Nus Bab. Sehingga pihaknya harus menggelar beberapa seminar dan lokakarya dengan tujuan untuk meneliti ejaan dan tata bahasa untuk menghasilkan sistem penulisan dan pelafalan.
“GPM juga mengutus beberapa orang untuk kami latih dan mereka sepakat dilibatkan dalam tim penterjemah alkitab lima bahasa itu. Kami memulai dengan cerita-cerita alkitab supaya memperbiasakan mereka karena Firman Tuhan berbeda dengan dongeng yang kita rekam di masyarakat. Maka itu, tim dilatih untuk belajar tentang prinsip-prinsip penterjemah alkitab bertahun-tahun. Dia harus belajar bahasa Yunani minimal empat tahun dan bahasa Ibrani minimal lima tahun agar bisa memperoleh SK untuk menjadi penterjemah alkitab,”papar Maiseka.
Ia menuturkan hasil dari kinerja pihaknya dalam penterjemahan alkitab ke dalam lima bahasa itu, diantaranya dalam bahasa Fordata sudah rampung hingga perjanjian baru dengan waktu kerja selama 15 tahun, bahasa Yamdena Timur ditargetkan perjanjian baru akan diluncurkan pada tahun 2023, bahasa Selaru pada tahun 2024 karena untuk tim penterjemahnya bekerja paruh waktu dimana seminggu tiga kali pertemuan, kemudian untuk bahasa seluasa masih dalam lagu-lagu pujian sudah sekitar 100 lagu dibuat dan bahasa Makatian sudah hampir 200 lagu dan direncanakan pada tahun 2020 depan akan dilanjutkan dengan terjemahan alkitab perjanjian baru.
“Bahasa Selaru itu tahun 2024 karena tim penterjemahnya kerja part time, seminggu cuma tiga kali. Sementara tim bahasa Yamdena seminggu lima kali kerja dan itu yang membuat mereka lebih cepat dari tim selaru. Kemudian bahasa Makatian di tahun 2020 depan penterjemahn alkitab mulai karena penggunaan bahasa daerah disana masih bagus dari anak sampai orang tua masih berbahasa Makatian dengan baik,” tutur Maiseka.
Ia menjelaskan beberapa kendala yang ditemukan pihaknya saat melakukan penterjemahan tersebut adalah pihaknya menemukan masyarakat setempat belum memahami tata bahasa daerah mereka sendiri, masyarakat enggan untuk menggunakan bahasa daerah karena pada masa dulu masyarakat sering dihukum jika memakai bahasa daerah dan diharuskan untuk belajar dan menggunakan bahasa melayu serta banyak masyarakat yang tidak bersedia untuk terlibat karena mereka beranggapan hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja. Maiseka juga menambahkan hal yang paling menantang adalah di Desa Makatian karena masyarakat setempat mengharuskan pihaknya untuk melakukan kesepakatan secara adat.
“Masyarakat pikir apakah bahasa daerah bisa mereka pakai di gereja karena dulu itu dilarang, tidak boleh pakai di sekolah, karena akan diberi sanksi dengan berjemur di bawah tiang bendera, angkat kaki dan melihat matahari. Jadi mereka trauma, takut akan dimarahi lagi. Sehingga kami yakinkan mereka dengan mengatakan bahwa sekarang gereja dan pemerintah setuju dan mereka tidak perlu untuk takut lagi,” jelasnya.
Ayah dari Empat anak ini pun membeberkan alasan para generasi muda di daerah dengan 10 kecamatan itu kurang berbahasa daerah, yaitu karena dulu para orang tua suka berkebun dan meningggalkan anak mereka untuk waktu yang lama. Sehingga anak hanya berbahasa melayu dengan guru mereka di sekolah dan bahasa yang digunakan guru itulah yang dipakai oleh masyarakat.
Sementara itu, alasan yang paling mendasar adalah dari nilai pewartaan antara penginjil Kristen Katolik dan Protestan dimana gereja katolik beranggapan bahwa bahasa adalah alat pewartaan sedangkan saat itu Protestan beranggapan bahwa bahasa ialah penghalang penginjilan dan hal inilah yang membuat hampir desa-desa mayoritas protestan memiliki kemampuan bahasa daerah yang lemah dibandingkan desa-desa katolik.
“Itu tantangan sampai bahasa daerah hampir terusik jauh dari kampung, padahal kalau kita lihat kebanyakan desa-desa protestan. Seperti Kilmasa, Lumasebu, Manglusi, Tutukembong hingga Arma dan Watmuri jauh dari saumlaki. Tetapi bahasa mereka menurun sekali. Dibandingkan Desa Sifnana dan Olilit yang bahasanya masih sangat kuat, padahal mereka ada di kota,” tutup Ketua YPMD Tanimbar itu. (Laura Sobuber)